“Ma, kok Tysna? Kenapa Tysna?”,
tanyaku saat duduk di bangku kelas 3 SD kepada Mama. “Kenapa?”, Mama bingung.
Aku cuma bisa diam sambil mendengar
suara olok-olokan beberapa siswa lain menggema di kepalaku. “Nggak, cuma mau tahu
aja” jawabku. Mama bilang, Tisna itu nama rektor papa waktu di
ITB. Dia itu sangat pintar dan disegani. Ya... harapan mereka mungkin aku
menjadi sama hebatnya seperti orang tersebut. Namanya juga doa orang tua. “Tapi
Pa Tisna itu laki-laki kan?” aku tanya mendesak. “Ya iyalah, kenapa memang?”
Mama bingung. Aku cuma bisa diam dan bertanya tanya kepada diri sendiri, kenapa
sebuah nama yang begitu berarti untuk orang tuaku menjadi bahan olok-olokkan
siswa sekolahku dulu. Mungkin buat mereka, ini adalah hiburan. Untukku, ini
adalah awal mula trauma.
Teriak Tysna (18 tahun lalu) adalah bahan olok-olokkan. Sebagai
seorang siswa SD, mungkin aku sudah punya rasa takut untuk sekolah, takut
diolok. Aku pernah diteriaki dari lantai 2, sebuah kata yang selalu mereka
sebut. Bahkan membuatku trauma sampai sekarang. Aku bahkan tidak bisa
menuliskannya di sini. Aku tidak perah cerita, tapi aku tahu pasti Mama dan
Papa tahu masalahku. Sejak SD, aku sudah memikirkan, bagaimana mengalihkan
teriakan TYSNA menjadi terdengar halus di telingaku sendiri. Bukan
sombong, tapi aku selalu menjadi juara kelas sejak SD. Tapi yang orang lain gak
tahu, sebenarnya itu adalah caraku untuk mengalihkan teriakan TYSNA
menjadi sesuatu yang indah di telingaku. Tapi itu semua percuma, tahun demi
tahun aku terjebak di dalam stereotype masyarakat. Seberapapun aku berusaha
untuk mengalihkan mereka, percuma, kata kata itu terus dilempar ke telingaku,
bahkan sampai saat ini. Aku memang bukan anak cowok yang gila terhadap sepak
bola, atau basket atau olahraga lain yang mendefinisikan bahwa kamu adalah laki
laki. Aku bukan orang yang garang, tegap, bersuara bass atau banyak hal yang
mereka definisikan sebagai kriteria seorang laki-laki.
Teriak Tysna (11 tahun lalu) membuatku menunduk. Aku kadang takut
bersosialisasi dengan siswa lainnya. Takut mereka menghina. Aku takut ke
kantin. Aku takut berjalan di lorong sekolah. Aku lebih baik menghabiskan waktu
di kelas saat istirahat, menggambar di lembar belakang buku catatan dengan
titip makanan jika temanku ke kantin. Seberapapun prestasi yang aku buat, hanya
jadi kesempatan mereka untuk berteriak mencemoohku saatku dipanggil untuk
menerima penghargaan di depan seluruh siswa saat upacara bendera. Aku takut
maju di depan umum. Aku hanya bisa menjadi diriku di depan lima sahabat
terbaikku saat SMA. Itupun di tempat les.
Teriak Tysna (10 tahun lalu) membuatku tersenyum. Aku akhirnya pindah
ke tempat baru. Aku pindah ke Malaysia untuk meneruskan pendidikan di sebuah
Universitas asal Australia. Kalau aku harus berterima kasih, Papa dan Mama mengubah
hidupku 180 derajat saat mereka berusaha membiayaiku sekolah di luar negeri.
Lingkungan baru, tanpa stereotype yang aku takuti. Aku merasa aku adalah TYSNA,
tanpa cemoohan menjadi embel-embelnya. Tysna, 10 tahun lalu adalah seorang
mahasiswa jurusan Mass Communication & Marketing (Double Major) yang sangat
ambisius. Kebiasaanku untuk mengalihkan pandangan orang terhadap diriku dengan
prestasi sudah menjadi kebiasaan yang tidak bisa dihentikan. Al hasil, Tysna si
anak ambisius pun tercipta. Mungkin masa kuliahku adalah masa – masa yang
paling aku syukuri. Berprestasi tanpa beban dan mempunyai teman-teman yang
menerimaku. Tidak ada teriakkan kata kata itu sama sekali. Aku bukan tidak suka
tinggal di Indonesia, tetapi di tempat lain, aku tidak dipandang sebelah mata.
Aku mulai bisa fokus terhadap diriku sendiri, pendidikkanku, bahkan
penampilanku. Tysna saat itu sangat berbeda dengan Tysna yang dikenal saat SMA
atau sebelumnya. Aku mulai bisa belajar dengan fokus untuk berprestasi,
memperbaiki penampilanku dan melakukan hal yang aku suka tanpa judge dari
siapapun. Aku memang sangat suka sekali Art, terutama Film. Untungnya papa
tidak pernah menghalangi pilihan anak anaknya, malah mendukungnya. Dimana saat
itu banyak persepsi bahwa masuk bidang film atau seni itu gak ada masa
depannya. Tapi kata papa begini; “Tysna, kamu masih ada keturunan Chinese,
kalau bisa ambil bisnis juga”. Makanya, saat itu aku juga ambil study di bidang
marketing yang dulunya aku sangat benci, ternyata jadi suka banget. Beberapa
kali aku jadi team leader dalam project kuliah tanpa rasa takut untuk tampil di
muka umum. Tuhan saat itu memberikanku waktu untuk bebas menjadi diriku sendiri
lewat tangan Mama dan Papa. Aku mulai mengerti cara bersyukur, dan selalu ingin
men-share hal tersebut dalam karya-karya yang aku buat saat kuliah di Malaysia
dan sampai saat ini.
Teriak Tysna (6 tahun lalu) menjadi tantangan untuk kebal. Aku, si anak
baru lulus, sangat ingin pulang ke Indonesia untuk bisa menginspirasi orang
banyak lewat karyaku di bidang filmmaking. Saking semangatnya, aku lupa kekentalan
stereotype orang Indonesia terhadap orang seperti aku. Mungkin beberapa dari
kalian bertanya-tanya, “apa maksudnya orang seperti aku?” Akupun gak tahu.
Aku berpakaian seperti pria lain dengan pekerjaan yang dilakukan pria lain
juga. Mungkin latar belakangku yang tidak melakukan kegiatan atau hobby
stereotype yang seorang pria lakukan, membuat gerak-gerikku menjadi tidak
seperti ekspektasi mereka. Harus Garang! Harus Tegap! Bro banget! (walau
istilah ini aku gak paham). Di tempat kerjaku, bahkan beberapa orang masih
termakan stereotype kuno tersebut. Menilai orang hanya dari apa yang mereka
lihat dan dengar, bukan dengan mengenalnya. Jujur, di tahun pertama aku kerja,
aku sempat mau lompat dari apartemen ku di lantai 37. Tuhan sayang aku. Dia
selalu menempatkan orang-orang baik untuk menjagaku. Teman – Teman. Maklum, aku
tinggal jauh dari orang tua dan tidak pernah terbuka dengan mereka tentang
masalah yang aku alami sejak SD ini dengan mereka (aku cuma takut jadi beban
karena ini sepertinya hal yang gak begitu penting juga untuk mereka pikirkan).
Tysna saat itu adalah Tysna yang lupa lagi untuk bersyukur dan akhirnya
ditampar Tuhan. Justru tantangan terberat adalah menjadi diri sendiri di negara
sendiri.
Teriak Tysna (Hari Ini) adalah Tysna Saputra. Aku bukan hasil bentukkan
mereka yang mengolok-olokku. Aku, hari ini, adalah hasil dari kasih sayang Tuhan
dan mereka yang menyayangiku. Dulu Mama pernah bilang; kita gak bisa berhentiin
air terjun yang sudah mengalir deras dengan kedua tangan kita. Air yang
mengalir keras ke bawah, sudah pada kodratnya, mereka tertarik gravitasi dan
meluncur keras ke bawah. Kita adalah orang yang berdiri di bawah air terjun
itu. Kekuatan kita adalah yang bisa membuat kita tetap berdiri tegap dan
tersenyum, walau menahan sakit hempasan air yang mengalir deras. Jangan sampai
terjatuh, karena itu adalah hal yang mereka inginkan. Kalau mau menangis, menangislah
sampai puas. Saat kamu kembali ke depan mereka, kamu adalah orang yang mereka
sangat tidak inginkan, seorang yang selalu tersenyum dan kuat.
Untuk Mama dan Papa, Tysna kangen.