Valentine’s Day

By TYSNA SAPUTRA - Juni 01, 2018

Bulan lalu dia muncul di comment box instagram ku. Memanggil namaku. Dan berusaha membuatku ingat padanya. Dia, 14 tahun lalu, gadis berambut ikal yang aku gemari. 
14 Tahun lalu, 14 February. Hari biasa. Aku bercelana pendek, 4 jari di atas lutut, seperti ketentuan sekolah, berlari masuk menunduk lewat pintu samping sekolah. Saat itu aku masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Mau gak mau aku harus lewat lorong anak kelas 1. Beberapa siswa kelas 1, berpakaian tidak rapih meneriakkan kata kata cemoohan. Aku ingat betul sampai  sekarang seberapa berdebar takut dan malu aku saat itu. Kata kata yang sama setiap hari. Mungkin mereka tau dari anak kelas 3 yang suka bolos kelas bareng mereka. Ini seperti hinaan turun menurun. Mungkin aku satu dari sedikit siswa paling sexy di sekolah. Bagaimana tidak, celanaku benar benar 4 jari di atas lutut, itu sesuai peraturan sekolah saat itu. Aku selalu patuh dan takut dengan peraturan. Siswa lain? Mungkin mereka tidak peduli. Banyak dari mereka bercelana menutupi lutut. Ada yang menegur? Tidak. Harus aku permasalahkan di sekolah mengenai peraturan ini? Tidak. Saat itu, aku belum punya nyali untuk berbicara dan memberontak. Mulutku selalu terlekat keras. Bahkan untuk membeli dvd bajakan saat itu, kakak angkatku yang harus berbicata kepada si penjualnya. Sangat berbeda dengan sekarang. 


14 February. Valentine’s day, mereka bilang. Aku saja baru ingat. Maklum, bahkan aku kadang suka lupa ulang tahun Mama, papa, kkakak dan adik adikku. Yang aku ingat cuma ulang tahunku dan kak Ija, kakak angkatku, karena ulang tahunnya 1 hari setelah hari kemerdekaan. Aku menaruh ranselku yang lebih berat dari tv 24 inch di kursi ke dua dari depan, kursi favoritku. Maklum, aku selalu ingin bisa belajar paling depan, tapi takut ditunjuk maju, makanya aku selalu suka row nomor 2. Aku ke luar sebentar, karena harus membayar iuran sekolah. Saat kembali, aku membuka tas untuk memasukkan kartu iuran. Ada coklat dengan bungkus emas (dia membuang bungkus luarnya). Tidak ada tulisan. Yang lain berisik membicarakan coklat, bunga dan sebagainya. Beberapa siswa siswi yang sudah berpacaran saat itu mulai beratraksi seperti di film film remaja. Aku? Menutup tas dan kemudian duduk. Mencoba menebak pemberi coklat misterius itu. 


14 meter dari luar kelas, Dia, si rambut keriting, kulit putih, tidak begitu tinggi tapi manis terlihat berjalan ke arah pintu kelas. Aku gak naksir, Cuma senang aja kalau ada dia lewat. Mungkin aku terlalu banyak nonton film. Aku lihat jam, masih 15 menit bel berbunyi. Adrenalinku naik. Aku deg degan. Mungkin aku tiba tiba gila. Saat dia lewat, aku langsung tanya, aku lupa detilnya, intinya aku tanya apakah dia mau jadi pacar aku. Mungkin aku pakai istilah lain jadi gak to the point. Yang aku ingat, aku harus jilat bawah sepatunya. Dia tau beberapa hari lalu, aku pernah diperlakukan seperti itu oleh siswi lain di kelas itu, menyuruhku menjilat sepatu. Aku kaget. Malu. Dan kembali duduk di kursiku. Tysna, kenapa kamu begitu bodoh. Saat itu, aku gak paham lagi. 
14.00 . Sudah 1 jam guru pelajaran pertama tidak masuk. Aku pikir hari ini ada ulangan. Beberapa siswa siswi lain masih sibuk dengan pembahasan valentine. Aku, berjalan ke ruang guru menanyakan apakah si bapak masuk atau tidak. Kaget, dia masuk, duduk di detetan ke 2 dari belakang ruang guru. Seingatku, itu ruang guru terluas sepanjang aku sekolah. “Pa, gak jadi ulangan?” tanyaku. “Jadi, jam ke 2, 1 jam pelajaran saja” . Aku segera berlari ke kelas memberitahukan yang lainnya bahwa akan tetap ada ulangan hari itu. Dari kursi belakang, aku ingat, siswa sekelas tinggi berkulit agak gelap, mulai menggunakan kata ceomohan sejuta umat kepada ku. Aku diam. Sakit hati pasti. Tapi aku lebih baik fokus buat mengingat hafalan rumus yang sudah aku hafali habis habisan di malam sebelumnya. 


14 menit setelah bel pulang, mobil jemputan datang. Jujur aku malu. Aku di jemput pakai mobil waktu sekolah, dan harus keluar gerbang melewati anak anak yang jalan pulang. Aku berterima kasih justru sama mama dan papa selalu berusaha membuat hidup kami, anak anaknya menjadi mudah. Malu bukan karena itu. Malu, saya diteriaki hinaan beberapa anak dari luar mobil. Malu supir dengar. Saat macet keluar gerbang, dan siswa siswi lain berjalan berdempetan dengan kaca mobil, aku pura pura membaca buku. Menutupi muka dan menjaga kontak mata. Sangat berbeda dengan aku yang bercerita hari ini. 


14 februari. Aku ingat. Valentine. Aku meminta supir untuk mampir ke mini market. Aku turun dengan  segala uang receh yang ada di kantong waktu itu. Saat itu, coklat berbentuk piramida berjejer memanjang sangat populer dan terkesan mahal. Ada pita yang melekat. Edisi valentine, kata si mba kasir. Aku bergegas membayar dan menulis sedikit surat. Pulang, aku menyelinap ke kamar lantai 1. Dulu rumahku tingkat 2. Kamarku di atas. Mama sedang tidur sore. Aku kadang suka sedih. Mama capek. Mama ibu rumah tangga. Mama bangun paling pagi, membangunkan kami dan memasak masakan terlezat di dunia. Mama pusat tata surya keluarga aku. Mama capek. Mama gampang sakit dari dulu. Vertigo katanya. Setiap mama bilang vertigo, aku sedih. Sampai sekarang. Vertigo. Aku bilang, ma ini hadiah buag mama, happy valentine’s. Mama Cuma bilang “aduh, kamu buang buang uang deh.” Dia diam sebentar “makasih ya” sambungnya. Persis seperti beberapa bulan lalu, tabunganku dari hasil kerja beberapa bulan, akhirnya cukup untuk menggantikkan handphone mama yang sudah mulai rusak. Aku taro di selipan baju lemari kamar apartemenku. Kubisikkan ke mama yang sedang tidur karena vertigo di kamar kakak. Kopernya sudah siap di sebelah kepalanya. Besok mama pulang ke Malaysia. “Ma Ma, sebentar plis. Ikut aku. Aku mau ngomong” kataku. Mama yang setengah matanya terbuka akhirnya ikut aku ke kamarku. Aku ambil handphone baru yang aku order online kemarin sore. “Ma, ini buat mama” kataku sambil memberi bungkusan. Untuk pertama kalinya, mama langsung nangis. Aku kaget. Aku langsung menangis. Aku memang aneh. Dari TK, kelemahanku adalah melihat mamaku menangis. Tanpa sebab aku pasti langsung menangis. Mama bilang “aduh, kamu buang buang uang deh” sambil terisak. Bahkan aku yang sedang menulis cerita ini, melihat ke arah lemari di kamarku, aku masih bisa teringat moment itu. Masih bisa terasa, tanganku merinding, air mata hampir keluar. “makasih ya na” aku ingat dia bilang begitu sambil menangis. Mama peluk aku. Untuk mama. Semua untuk mama. Aku Cuma mau mama seneng. Sama seperti mama selalu bikin aku seneng. Mungkin dulu aku selalu abaikan mama. Bangun pagi, sarapan, berangkat sekolah, pulang, tidur. Sekarang aku jauh. Aku cuma bisa ingat. Mama dan nilai yang selalu mama tanam ke aku. 

Dia, si rambut keriting, manis. Mamaku, dulu keriting dan sangat cantik. 



Tysna rindu Mama. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar